Sabtu, 07 Februari 2009

BUKAN SEKEDAR BILINGUAL

Departemen Pendidikan Nasional menetapkan 260 rintisan sekolah bertaraf internasional.
Diharapkan pada tahun 2009 tersaring minimal 112 benar­-benar menjadi SBI. Kemampuan berbahasa Inggris kepala sekolah Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) sangat rendah.
Bayangkan : dari 260 kepala sekolah rintisan Sekolah Berataraf Internasional (RSBI) yang mengikuti tes bahasa Inggris, sekitar 50% nilai TOEIC (Test of English for Internasional Communication) dibawah 245 alias tingkat kemampuannya berada pada tingkat dibawah elementary. Hanya sekitar 10% kepala sekolah yang benar-benar mampu berbahasa Inggris dengan baik, yang sebagian besar berlatarbelakang sarjana pendidikan bahasa Inggris.
“Inilah fakta yang kami temukan di lapangan. Tidak usah kami tutup-tutupi. Justru hal ini menjadi tantangan kami ke depan : bagaimana kemampuan bahasa Inggris mereka. Namanya saja SBI, kalau kemampuan bahasa Inggris kepala sekolahnya kacau kan tidak lucu,” kata Surya Dharma, MPA, PhD, Direktur Tenaga Kependidikan, Ditjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Depdiknas.
Direktorat Tenaga Kependidikan memang punya tugas ekstra berat buat mendongkrak kualitas para kepala sekolah, khususnya kepala rintisan SBI. Keberadaan SBI ditegaskan dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Rintisan SBI sudah bermunculan di Tanah Air sejak 2005. Namun, pedoman penjaminan mutu SBI, baik jenjang pendidikan dasar dan menengah, baru keluar pada tahun 2007 lalu.
Buku Pedoman Penjaminan Mutu Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah, yang ditandatangani Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo, memang baru digulirkan pada 27 Juni 2007. Menurut pedoman, SBI merupakan sekolah/Madrasah yang sudah memiliki seluruh standar nasional pendidikan (SNP) dan diperkaya dengan mengacu pada standar pendidikan salah satu Negara anggota OECD (Organization for Economic Co-operation and Development) dan/atau Negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan, sehingga memiliki daya saing di forum internasional.
SNP terdiri dari delapan komponen, yaitu standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, standar penilaian. Otomatis, pemenuhan delapan standar nasional pendidikan itu mutlak dipenuhi oleh SBI, sebelum menambah standar pendidikan internasional dari negara-negara anggota OECD atau negara maju lain.
Yang menjadi cirri khas SBI, proses pembelajaran mata pelajaran kelompok sains harus menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris (bilingual). Selain itu, kegiatan pembelajaran harus berbasis teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Oleh karena itu, setiap ruang kelas harus dilengkapi sarana pembelajaran berbasis TIK. Perpustakaan sekolah juga harus dilengkapi sarana digital yang memungkinkan akses ke sumber pembelajaran berbasis TIK di seluruh dunia.
Sebagai perbandingan, di Turki setiap guru punya satu laptop. “Di sekolah-sekolah rintisan SBI kalau kepala sekolahnya bias mengoperasikan computer dengan baik saja sudah bagus. Kemampuan IT mereka memang belum kita petakan,” kata Surya Dharma.
Buku pedoman tersebut juga menegaskan bahwa guru matapelajaran kelompok sains harus mampu berbahasa Inggris dengan baik. “Kepala sekolah/madrasah SBI selain dituntut lancar berbahasa Inggris, kualifikasi pendidikannya minimal S2 dari perguruan tinggi yang program studinya berkualifikasi A, dan telah menempuh pelatihan kepala sekolah dari lembaga pelatihan kepala sekolah yang diakui oleh pemerintah,” kata Surya Dharma menambahkan.
Direktorat Tendik pun segera melakukan pembinaan kepala SBI, khususnya memperbaiki kemampuan bahasa Inggris mereka. TOEIC sudah berupa program atau materi-materi pembelajaran bahasa Inggris yang bias dipelajari sendiri oleh kepala sekolah.
BELAJAR KE TURKI DAN SINGAPURA
Direktorat Tendik juga telah menyalurkan dana block grant ke sekolah-sekolah rintisan SBI, masing-masing Rp 100 juta. Dana itu diharapkan mampu menggairahkan kepala sekolah meningkatkan kualitasnya. Selain itu, kepala sekolah juga dikirim ke luar negeri, yakni ke Turki, Malaysia, dan Singapura, sekitar dua pekan. Setidaknya, ada 100 kepala sekolah yang telah belajar di National Institute of Education (NIE) di Singapura, November 2007 lalu.
Kepala sekolah yang dikirim ke Turki sebanyak 50 orang. Pengiriman kepala sekolah ke Turki tersebut atas saran Menteri Pendidikan Nasional. Indonesia sendiri memang telah menjalin kerjasama peningkatan mutu pendidikan dengan Turki. Selain itu, menurut Mendiknas, Turki merupakan satu-satunya Negara yang bisa dijadikan contoh tentang besarnya perhatian masyarakat bisnis terhadap pendidikan. Pebisnis menyisihkan sebagian pendapatan untuk membangun pendidikan.
Di Turki, para kepala sekolah mengikuti kegiatan seminar selama enam hari. Seminar membahas tentang sistem pendidikan di Turki, kurikulum, sistem pembelajaran, sistem pengawasan sekolah, dan upaya-upaya yang dilakukan untuk meningkatkan mutu guru dan kepala sekolah. Sayangnya, dari 50 kepala sekolah yang dikirim ke sana, hanya dua orang yang bisa berbahasa Inggris dengan baik.
Menurut Surya Dharma, pengiriman kepala sekolah ke luar negeri itu mempunyai banyak manfaat. Pertama, meningkatkan rasa percaya diri kepala sekolah. Dengan melihat langsung penyelenggaraan pendidikan di negara-negara tersebut, Direktorat Tendik berharap, para kepala sekolah menjadi lebih percaya diri dan termotivasi untuk meningkatkan mutu sekolahnya agar bisa bersaing dengan sekolah-sekolah berkelas dunia.
Kedua, mengambil sisi-sisi positif dari kegiatan pembelajaran. Di Turki, misalnya, para kepala sekolah melihat pelaksanaan pembelajaran di sana, melihat langsung kegiatan moving class, aktivitas organisasi semacam MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) dan MKKS (Musyawarah Kerja Kepala Sekolah). Mereka juga melihat, setelah jam pelajaran sekolah usai, guru-guru di sana masih tinggal di sekolah sampai sore untuk mendiskusikan persoalan-persoalan yang muncul pada hari itu.
Ketiga, meningkatkan hubungan kerjasama antara sekolah dengan masyarakat. Turki merupakan contoh sangat baik tentang kedekatan hubungan antara sekolah dengan orang tua siswa dan masyarakat sekitar sekolah. Bahkan sekolah menyediakan kamera monitor yang bisa diakses oleh orang tua siswa dari rumahnya. “Orang tua di rumah bisa tahu anaknya di sekolah sedang melakukan kegiatan apa, di dalam kelas aktif atau tidak,” kata Surya Dharma. Artinya, orang tua bisa ikut mengawasi jalannya kegiatan pembelajaran. Dengan demikian, guru juga tidak bisa berbuat macam-macam. Guru-guru pun memperlakukan siswa-siswanya dengan sangat baik.
Menurut Surya Dharma, persoalan SBI bukan hanya menyangkut kelengkapan gedung, melainkan persoalan mind set atau pola pikir kepala sekolah. Mereka yang telah ke luar negeri bisa bertambah wawasan internasionalnya. Cakrawala dan paradigma tentang kepemimpinan maupun kegiatan pembelajaran diharapkan berubah menjadi lebih baik.
Beban memang bukan menjadi tanggung jawab di pundak Direktorat Tendik. Direktorat Profesi yang membawahi guru-guru jelas punya pekerjaan rumah yang sama beratnya. Sudah terbayang, jika kemampuan bahasa Inggris kepala rintisan SBI saja buruk, bagaimana dengan guru-gurunya, terutama guru matematika dan sains yang harus mengajarkan dalam dua bahasa? “Apa betul guru-guru matematika dan IPA di RSBI itu memiliki kemampuan bahasa Inggris yang memadai. Jangan-jangan mereka malah stress,” kata Surya Dharma.

Menyoal RSBI

Buku Pedoman Penjaminan Mutu Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah, yang ditandatangani Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo, memang baru digulirkan pada 27 Juni 2007. Menurut pedoman, SBI merupakan sekolah/Madrasah yang sudah memiliki seluruh standar nasional pendidikan (SNP) dan diperkaya dengan mengacu pada standar pendidikan salah satu Negara anggota OECD (Organization for Economic Co-operation and Development) dan/atau Negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan, sehingga memiliki daya saing di forum internasional.
SNP terdiri dari delapan komponen, yaitu standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, standar penilaian. Otomatis, pemenuhan delapan standar nasional pendidikan itu mutlak dipenuhi oleh SBI, sebelum menambah standar pendidikan internasional dari negara-negara anggota OECD atau negara maju lain.
Yang menjadi cirri khas SBI, proses pembelajaran mata pelajaran kelompok sains harus menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris (bilingual). Selain itu, kegiatan pembelajaran harus berbasis teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Oleh karena itu, setiap ruang kelas harus dilengkapi sarana pembelajaran berbasis TIK. Perpustakaan sekolah juga harus dilengkapi sarana digital yang memungkinkan akses ke sumber pembelajaran berbasis TIK di seluruh dunia.
Sebagai perbandingan, di Turki setiap guru punya satu laptop. “Di sekolah-sekolah rintisan SBI kalau kepala sekolahnya bias mengoperasikan computer dengan baik saja sudah bagus. Kemampuan IT mereka memang belum kita petakan,” kata Surya Dharma.
Buku pedoman tersebut juga menegaskan bahwa guru matapelajaran kelompok sains harus mampu berbahasa Inggris dengan baik. “Kepala sekolah/madrasah SBI selain dituntut lancar berbahasa Inggris, kualifikasi pendidikannya minimal S2 dari perguruan tinggi yang program studinya berkualifikasi A, dan telah menempuh pelatihan kepala sekolah dari lembaga pelatihan kepala sekolah yang diakui oleh pemerintah,” kata Surya Dharma menambahkan.
Direktorat Tendik pun segera melakukan pembinaan kepala SBI, khususnya memperbaiki kemampuan bahasa Inggris mereka. TOEIC sudah berupa program atau materi-materi pembelajaran bahasa Inggris yang bias dipelajari sendiri oleh kepala sekolah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar